sumber: Atjeh cyber warrior
Nama Teuku
Markam memang seperti lenyap dalam sejarah pembangunan Monas. Furqon
menggeleng ketika mendengar nama Teuku Markam. Mahasiswa semester dua di
Universitas Indraprasta, Jakarta, itu memicingkan mata, mempertanyakan
kesahihan cerita, bahwa Teuku Markam itu saudagar kaya asal Aceh yang
menyumbang 28 kilogram emas buat Monas.
”Soekarno saya tahu, kalau Markam, saya baru dengar,” kata dia seperti yang dilansir merdeka.com di museum diorama perjuangan kemerdekaan Monumen Nasional (Monas), pertengahan bulan lalu.
Annisa, pengunjung lainya
berkata, sejak duduk di sekolah dasar hingga mahasiswa, belum pernah ada
guru atau dosen bercerita tentang Markam. Bahkan Nursamin, bagian
Informasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola Monas, pun mengaku tak
tahu Markam adalah saudagar kaya penyumbang emas itu.
Menurut dia, ada banyak versi
sejarah pembangunan monumen yang menjadi ikon Ibu Kota Jakarta ini.
Setahu dia, dalam sejarah, nama Soekarno paling populer sebagai
pemrakarsa pembangunan. Ide dasarnya dari Sarwoko Martokusumo. Ada
pendapat berbeda, gagasan pembangunan Monas juga dari Soekarno.
”Tapi kalau nama Markam saya tidak tahu,” ujarnya.
Soekarno |
Bersama dua saudagar kaya lain, Aslam dan Panggabean, mereka orang-orang kaya pada masa pemerintahan presiden pertama itu.
Tapi setelah Soekarno lengser
dan pemerintahan berganti kepada rezim Soeharto, orang-orang kaya itu
ada yang bertahan, ada juga yang namanya tenggelam. Markam, termasuk
orang kaya yang disisihkan.
”Pada rezim Orde Baru, harta Markam dirampas oleh Soeharto.” tuturnya. Namun dia enggan bercerita penyebabnya.
”Pada rezim Orde Baru, harta Markam dirampas oleh Soeharto.” tuturnya. Namun dia enggan bercerita penyebabnya.
”Jujur, saya kurang paham kalau soal Monas ini dan Markam ini.”
Yuke Ardiati, Anggota Tim Ahli
Cagar Budaya dan Tim Pemugaran Monumen, mengaku pernah membaca cerita
tentang Markam yang menyumbang emas untuk Monas di Internet. Dia juga
sempat mendengar dari beberapa orang. Namun hingga kini dia belum
mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan cerita itu. Belum ada saksi
mata proses penyerahan emas dan bukti kuitansi.
”Andai benar, ada atau tidak
saksi mata peleburan emas sampai proses pelapisan pada lidah api,
jangan-jangan emasnya tidak dipakai?” ujarnya.
Merdeka.com yang
menelusuri jejak keluarga Markam tidak mendapat banyak informasi.
Dimulai dari rumah kediaman Teuku Syauki Markam, salah satu putra
saudagar Aceh itu, di Jalan Bhakti Nomor 48, Kelurahan Cilandak Timur,
Pasar Minggu. Rumah tembok itu berdiri di halaman bekas pabrik PT Markam
Jaya. Indah Yuliarti, istri dari Syauki, menolak menjelaskan soal
Markam dan Monas.
”Silakan tanya bapak saja, itu sejarah masa lalu. Saya tidak bisa, takut salah,” kata dia.
Dia lantas menunjukkan alamat
kantor suaminya di kompleks rumah toko (ruko) PT Superindo, Jalan Hayam
Wuruk nomor 103 H, Jakarta Pusat. Salah satu ruko tua; cat putihya
memudar menjadi kekuning-kuningan, itu adalah kantor pemasaran tempat
Syauki Markam bekerja selama satu dasawarsa. Ruang kantor yang
disekat-sekat dengan triplek ini berada di lantai dua. Lantai dasar
digunakan sebagai kantor notaris.
Sofa hitam khusus tamu dibiarkan
berdebu. Menurut sekretarisnya, Mungkiatun, perusahaan Syauki bergerak
pada bidang penyewaan gedung kantor dan gudang. Di situlah klien-klien
bosnya datang. Sayang, Syauki tidak bisa ditemui. Mungki mengatakan,
bosnya sedang pergi ke luar kota. Dia tidak bisa memastikan kapan si bos
kembali.
“Kadang tidur di kantor, kadang tidur di hotel,” kata dia.
Mungki mengaku hafal betul
perilaku bosnya yang tidak pernah bisa dihubungi itu. Dia lantas memberi
dua nomor telepon. Benar saja, hingga berita ini diturunkan, beberapa
kali nomor Syauki dihubungi tidak diangkat. Begitu juga pesan pendek
minta wawancara tidak dibalas, dilansir merdeka.com.
”Bapak tidak pernah bisa dihubungi. Kalau ada yang penting, biasanya dia menelepon ke kantor,” kata Mungki.
Keluarga Markam
Siang itu matahari serasa
sejengkal dari kepala ketika seekor kerbau betina mengaso di samping
pintu belakang rumah Teuku Syauki Markam. Kerbau itu milik Syauki, salah
satu anak dari saudagar kaya asal Aceh, Teuku Markam, yang konon
termasuk orang terkaya di Indonesia pada era Soekarno.
Dari luar, sepintas rumah Syauki seperti tanpa penghuni. Lengang. Pintu depan dan belakang rumah tembok bercat putih yang sebagian warnanya berubah kecoklatan itu terkunci.
Dari luar, sepintas rumah Syauki seperti tanpa penghuni. Lengang. Pintu depan dan belakang rumah tembok bercat putih yang sebagian warnanya berubah kecoklatan itu terkunci.
Bau tengik dari kubangan lumpur
bercampur tahi kerbau yang jaraknya kira-kira sedepa dari sekat tembok
belakang rumah Syauki menyengat hidung. Setelah beberapa kali
merdeka.com mengetuk pintu belakang rumah, Indah Yuliarti, istri Syauki,
akhirnya membuka pintu. Tapi saat ditanya soal sejarah keluarga Markam,
dia menolak bicara.
”Silakan tanya bapak saja,” kata
dia saat ditemui di rumahnya itu, Jalan Bhakti nomor 48, Kelurahan
Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bulan lalu.
Besoknya, tempat kerbau itu
berubah menjadi tempat parkir mobil Volvo hitam buatan Swedia. Menurut
Anton, warga sekitar, mobil itu biasa dikendarai Syauki. Namun saat
pintu rumah diketuk, justru Putri, anak ketiga Syauki, yang muncul.
Putri mengatakan bapaknya tidak ada di rumah. Saat merdeka.com bertanya
soal sejarah Markam, dia memberi penuturan mirip ibunya.
”Silakan tanya bapak saja. Nanti saya salah bicara, bapak bisa marah-marah.”
Tapi dari Putri ada sedikit
cerita. Menurut dia, sudah belasan tahun keluarga Markam berpencar ke
mana-mana, ada yang tinggal di Aceh, beberapa lagi di Jakarta. Kakeknya,
Markam, memang memiliki lebih dari dua istri. Syauki adalah anak dari
salah satu istri tua Markam. Menurut perempuan dengan kawat gigi itu,
bapaknya memiliki empat saudara kandung.
”Tapi rumah mereka di mana saya tidak tahu, mereka seperti trauma, susah diajak bicara,” ujarnya.
Syauki tidak berhasil ditemui di
rumah dan kantornya, komplek rumah toko (ruko) Superindo, di Jalan
Hayam Wuruk nomor 103H, Jakarta Pusat. Mungkiatun, pegawai kantor,
mengatakan bosnya sedang ke luar kota.
Ketika dua nomor telepon milik
Syauki dihubungi, tidak ada jawaban. Menurut Mungki hal itu sudah biasa.
Syauki, dia menambahkan, selama ini tidak pernah mau mengangkat telepon
dari siapapun, kecuali keluarga dan kantor.
Begitu juga dengan kiriman pesan
pendek permintaan wawancara, Syauki tetap tidak membalas. Tapi Mungki
sempat bercerita ihwal perjuangan keluarga Markam merebut harta
keluarga. Syauki, kata dia, sempat dua kali masuk penjara lantaran
sengketa kepemilikan lahan dan perusahaan. Pertama, dia ditahan lantaran
terbelit kasus jual beli lahan.
”Yang kedua dia dipenjara lagi karena membacok kepala seorang preman gara-gara sengketa lahan,” tuturnya.
Hal itu dibenarkan Ambarwati,
pegawai lain. Dia menyarankan, kalau menemui Syauki hendaknya malam
hari, atau lebih dulu membuat janji. Kalau tidak begitu, bosnya sangat
sulit ditemui.
Mungkiatun kemudian
menghubungkan merdeka.com dengan Cut Martaleta, adik tiri Syauki, yang
kebetulan menginap di sebuah wisma tepat di depan kantor. Martaleta
adalah anak Markam dari istri yang lain. Namun ketika ditemui, Martaleta
juga menolak wawancara.
”Maaf tidak bisa, saya sedang sakit," kata dia.
Akhirnya, melalui pertanyaan singkat lewat pesan pendek, Martaleta bersedia menjawab. Isinya begini:
saya minta disediakan uang Rp 30 juta karena saya jujur dengan Anda, keadaan saya sangat-sangat di bawah standar. Saya minta uang ditransfer di muka, setelah itu kita adakan pertemuan di rumah kakak saya, yang juga ahli waris Haji Teuku Markam.
Illustrasi |
Jejak kejayaan Markam memang masih ada. Rumah Syauki di Jalan Bhakti, Cilandak Timur, itu misalnya, berdiri di pojok halaman depan gudang PT Markam Jaya, sebuah perusahaan kontraktor milik Markam pada era Presiden Soekarno.
Konon, Teuku Markam merupakan
salah satu saudagar Aceh yang sukses di masanya. Dia sempat membangun
infrastruktur di Aceh, termasuk jalan Medan-Banda Aceh,
Bireuen-Takengon, Meulaboh, dan Tapaktuan.
Markam juga disebut-sebut
memiliki sejumlah dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, dan Palembang.
Dia tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari
Jepang. Usaha lain adalah mengimpor pelat baja, besi beton sampai
senjata untuk militer. Orang kaya ini juga disebut-sebut menyumbangkan
28 kilogram emasnya buat pembangunan tugu Monas.
Peran Markam mulai hancur dan
runtuh ketika kekuasaan Soeharto semakin besar. Ia pernah ditahan
delapan tahun dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Harta kekayaannya dirampas. Dia mencoba bangkit setelah keluar dari
penjara, tapi tidak bertahan lama. Pengambilalihan harta Markam ini
dibenarkan oleh sejarawan Anhar Gonggong.
”Salah satunya Bank Duta milik Soeharto dulu kemungkinan adalah asetnya Markam.”